TRANSLATE

Selasa, 29 April 2014

LOLLIPOP OS

Hello guys~ hehehe.. Selain memposting berbagai artikel, esai, dsb blog ini juga Nila pakai sebagai blog online shop hehehe buat kalian yg mau belanja* berbagai produk kecantikan dan garskin bisa hubungi Nila yaa di:
twitter: @nilarieswari
Line: Nila Arieswari
Ini cuma buat kalian-kalian yang SERIUS aja yaa!:) dijamin barang berkualitas dengan harga pas ({})
Ini contoh-contoh produknya yaa:





Thanks~

POLITICS “ARISTOTELES”: SOLUSI MENEMUKAN PEMIMPIN YANG DEMOKRATIS



Hallo semuaaa~ gak terasa ya sudah hampir 9 bulan gak posting huuuhuhuhuhu:'( di karenakan suatu hal yang Nila sendiri susah untuk berbagi #plakk *forgetit:D yuk dibaca aja yaa ini esai terakhir yang Nila buat di masa SMA ini:') yuukk inget boleh di copas asal inget ijin hahahahaha #evillaugh yuukk happy read:')
 
POLITICS “ARISTOTELES”: SOLUSI MENEMUKAN
 PEMIMPIN YANG DEMOKRATIS

Ni Nyoman Nila Arieswari

SMA Negeri 2 Kuta

A.    PENDAHULUAN
Tahun politik, bisa jadi demikian sebutan untuk tahun 2014. Karena rakyat Indonesia akan menggelar “pesta rakyat” untuk mengganti wakil-wakilnya di legislatif mulai tingkat pusat hingga daerah dan sekaligus akan mengganti orang nomor satu di negeri ini, yaitu pemilihan Presiden Republik Indonesia. Banjir janji politik siklus lima tahunan pun menjadi bencana yang siap menerjang rakyat Indonesia. Lonceng bahaya tersebut akan bergema saat dimulainya pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif melalui rapat umum serta iklan media massa cetak dan elektronik yang akan dimulai 16 Maret sampai 5 April 2014.[1] Persaingan internal saling ”mematikan” di antara sesama kader partai politik, akibat kerancuan sistem pileg antara sistem proporsional dan suara terbanyak, diperkirakan akan menimbulkan gelombang pasang janji-janji muluk para politisi, terutama mereka yang motivasinya semata kekuasaan. Pemilu yang seharusnya dirayakan untuk menyongsong kemenangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menjadi festival tanpa makna. Mengapa saya berani mengatakan hal tersebut? Karena keluarga saya sendiri mengalami hal tersebut. Seringkali saya mendapati surat yang berisi pemberitahuan sosialisasi para caleg. Sosialisasi? Apa sungguh sosialisasi? Sosialisasi untuk mendengarkan anda berkoar-koar mengumbar janji? Itulah kata-kata dalam benak saya. Bahkan para caleg tersebut tidak segan-segan datang ke rumah saya untuk melakukan sosialisasi. Padahal para caleg tersebut belum tentu mengenal dekat keluarga saya. Mereka yang belum atau tidak pernah mengunjungi rumah saya menjadi sering berkunjung bak ada emas di rumah saya. Saya sempat berpikir, berapa banyak uang dan waktu yang mereka habiskan untuk melakukan hal tersebut?
Pengalaman yang saya alami ini membuat saya bertanya-tanya hingga akhirnya saya dapat menemukan jawabannya. Namun, masih ada hal lain yang mengganjal dalam benak saya, mengapa mereka mau bersusah payah melakukan hal tersebut? Apa tujuan mereka menjadi anggota legislatif? Bisa kita bayangkan bila seluruh anggota legislatif hanya mementingkan kekuasaan, apa kata dunia? Indonesia sangat memerlukan pemimpin yang ideal, bijaksana, terbuka dan apa adanya bukan ada apanya. Jangan jadikan Indonesia makin terpuruk di mata dunia. Berangkat dari pernyataan saya di atas, para calon pemimpin ini belum mengamalkan filosofi mengenai demokrasi. Filsafat demokrasi ini seharusnya dijadikan landasan untuk menjadi pemimpin yang demokratis bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, saya mulai mengambil bahasan Politics “Aristoteles”: Solusi Menemukan Pemimpin yang Demokratis dengan pertanyaan dasar Bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia? Bagaimana politics “Aristoteles” bisa menjadi solusi untuk menemukan pemimpin yang demokratis?

B.     PEMBAHASAN
1.      Mulai Masa Orde Lama sampai Reformasi
            Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang mana rakyat adalah pemegang kekuasaan penuh dalam proses menjalankan pemerintahan. Ada dua sistem pelaksanaan Demokrasi, yaitu Demokrasi Langsung dan  Demokrasi Perwakilan.
Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) yang berarti kekuasaan rakyat, yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) yang berarti rakyat dan κράτος (kratos) yang berarti kekuasaan, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Pertama kali istilah Demokrasi diperkenalkan oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak, kesempatan, dan suara yang sama untuk ikut dalam mengatur kebijakan pemerintahan tanpa ada yang membeda-bedakan. Baik itu secara status sosial maupun ras dan suku. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak[2]. Sedangkan, Mr. Koentjoro Poerbopranoto mendefinisikan demokrasi sebagai negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat. Hal ini berarti suatu sistem di mana rakyat diikutsertakan dalam pemerintahan negara[3]. Dalam demokrasi terkandung perjuangan yang mendasar akan partisipasi seluruh rakyat sebagai pondasinya sehingga terwujud asas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Asas tersebut tidaklah sesederhana seperti yang terucap. Asas tersebut memiliki makna yang penting dalam pemerintahan demokrasi.
1.1  Demokrasi pada Masa Orde Lama
Pada masa Orde Lama ini berlangsung sistem demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer adalah demokrasi yang menonjolkan peranan parlemen serta partai politik. Pelaksanaan demokrasi ini berlangsung ketika Indonesia menggunakan UUD 1945, UUDD RIS 1949, dan UUDS 1950. Pelaksanaan demokrasi ini ditandai adanya pemerintahan yang tidak stabil.
Upaya untuk menstabilkan keadaan negara maka pemerintah mengadakan pemilu. Pemilu 1955 pada masa itu jauh dari harapan masyarakat dan tujuannya tidak dapat tercapai. Bahkan, ketidakstabilan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Keadaan yang tidak stabil ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.
a.       Berkuasanya modal-modal raksasa (sektor industri makro) terhadap perekonomian rakyat Indonesia (sektor industri mikro).
b.      Pergantian kabinet terus-menerus sehingga pemerintah tidak mampu menyalurkan perkembangan masyarakat ke arah pembangunan.
c.       Adanya sistem liberal berdasarkan UUDS 1950 yang mengakibatkan pemerintah tidak stabil.
d.      Hasil Pemilu 1955 ternyata tidak mewakili masyarakat.
e.       Konstituante gagal melakukan tugasnya dalam membentuk UUD yang baru.
Karena keadaan ketatanegaraan yang tidak stabil maka presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut.
a.       Pembubaran konstituante.
b.      Penetapan berlakunya kembali UUD 1945.
c.       Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Agar penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan demokrasi parlementer tidak terulang lagi maka presiden menerapkan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin adalah suatu paham demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme, nasionalisme, fasisme dan komunisme, tetapi didasarkan kepada keinginan luhur bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam pelaksanaannya demokrasi Indonesia terpimpin juga mengalami penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi adalah sebagai berikut.
a.       Penyimpangan ideologis, yaitu konsepsi Pancasila diganti menjadi konsepsi Nasakom (nasionalis, agama dan komunis)
b.      Pelaksanaan demokrasi ini telah bergeser menjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden sehingga wewenang presiden melebihi yang ditentukan dalam UUD 1945.
c.       MPRS melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 telah mengangkat Ir. Soekarno menjadi presiden seumur hidup.
d.      Pada tahun 1960 DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden karena RAPBN[4] yang diajukan Pemerintah tidak disetujui DPR sehingga dibentuklah DPR-GR[5].
e.       Hak budget DPR tidak berjalan setelah tahun 1960.
f.       Pemimpin lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara menjadi menteri negara.
g.      Kebijakan politik luar negeri Indonesia berubah dari “bebas aktif” menjadi “Poros Jakarta-Peking” dan konfrontasi Malaysia. Puncaknya ketika Indonesia keluar dari keanggotaan PBB[6].
1.2  Demokrasi pada Masa Orde Baru
Munculnya Orde Baru diawali dengan tuntutan aksi-aksi dari seluruh masyarakat, seperti KAPPI[7] dan KAMI[8] dengan nama Tritura yang berisi tiga hal, yaitu:
a.       Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya;
b.      Pembersihan kabinet dari unsure G-30-S/PKI;
c.       Penurunan harga.
Pemerintahan Orde Baru terbentuk pada tanggal 1 Oktober 1965. Orde Baru berupaya menanamkan keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik hanya bisa dicapai dengan membatasi partipasi politik. Setiap rakyat pada masa itu harus mendarmabaktikan hidupnya dan mendahulukan kewajiban daripada hak. Oleh karena itu, masyarakat hidup dalam suasana keluarga. Selain itu, rakyat diminta untuk mengikuti pemimpinnya. Pada akhirnya, Orde Baru mulai membiasakan adanya istilah negara integralistik, kekeluargaan, musyawarah mufakat dan demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila adalah demokraasi yang menjadikan Pancasila sebagai landasan ideal, serta UUD 1945 dan Tap. MPR sebagai landasan formal. Pada masa ini juga terdapat indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh pemerintahan Orde Baru. Program indoktrinasi ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari nilai-nilai sektorinisme.
Perubahan yang dilakukan Orde Baru sangat pesat sehingga melahirkan orde yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam perkembangan selanjutnya Orde Baru telah melakukan banyak penyimpangan sebagai berikut.
a.       Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto secara eksplisit tidak mengakui tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila.
b.      Butir-butir P4 memberikan didikan secara halus kepada individu dan tidak mencantumkan kewajibannya.
c.       Pengamalan demokrasi Pancasila dengan membentuk citra pembangunan sebagai ideology bangsa sehingga rakyat mendukung Bapak Pembangunan melalui kebulatan tekad.
Karena penyimpangan-penyimpangan itulah maka pelaksanaan Orde Baru tidak dapat berjalan demokratis. Bukti tidak demokratisnya pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru adalah:
a.       Dominannya peranan militer;
b.      Birokratisasi dengan sentralisasi pembuatan keputusan politik;
c.       Pengebirian partai politik;
d.      Campur tangan pemerintah dalam urusan partai politik;
e.       Monolitisasi ideologi;
f.       Inkorporasi lembaga nonpemerintah.
Meskipun pemerintahan Orde Baru tidak mencerminkan demokrasi, namun pemerintahan Orde Baru telah melaksanakan beberapa kali pemilu. Walaupun pemilihan umum yang dilaksanakannya hanya bertujuan untuk mempertahankan rezim status quo. Oleh karena itu, pemilihan umum pada masa itu memiliki makna sebagai berikut.
a.       Legitimasi kepemimpinan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
b.      Pemilihan umum yang dilaksanakan pemerintah hanya memberikan keuntungan bagi Golkar.
c.       Hasil pemilihan umum yang mendapat protes dari PPP dan PDI dapat diredam.
1.3  Demokrasi pada Masa Reformasi
Berakhirnya masa pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia berusaha menuju sistem politik yang demokratis dengan melakukan reformasi structural yang mendukung berkembangnya pemerintahan demokrasi.
Pada era reformasi ini pula kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya. Hal inilah yang menjadi perubahan besar dalam mewujudkan pemerintahan demokratis. Untuk mengemukakan pendapat pun dapat digunakan berbagai sarana. Ratusan media cetak dengan berbagai jenis dan segmentasi telah hadir sehingga masyarakat dapat mengakses informasi. Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi juga berkembang pesat.
Keseluruhan pembaruan politik di era reformasi dapat dilihat dari berbagai kebijakan sebagai berikut.
a.       Kemerdekaan pers
Artinya, pers diberikan kebebasan dari izin (SIUPP) dan pengawasan sehingga muncul beberapa penerbitan pers (media cetak atau elektronik).
b.      Kemerdekaan membentuk partai politik
Artinya, setiap orang dibebaskan untuk membentuk partai politik, sehingga dalam waktu singkat muncul beberapa partai politik, misalnya partai politik peserta Pemilu 1999 adalah 48 buah, Pemilu 2004 adalah 24 buah dan Pemilu 2009 adalah 34 parpol nasional dan 6 partai lokal Aceh.
c.       Terselenggaranya pemilu demokratis
Pada era reformasi ini telah dilakukan tiga kali penyelenggaraan pemilu yang demokratis, yaitu pemilu 1999, 2004 dan 2009.
d.      Pembebasan narapidana politik dan tahanan politik
Pada era ini dilakukan pembebasan beberapa narapidana dan tahanan politik, misalnya pembebasan Subandrio yang dituduh terlibat PKI.

2.      Politics “Aristoteles”
Di dalam berbagai analisis maupun teori tentang demokrasi, pemerintahan demokratis di masa Yunani Kuno selalu menjadi bahan kajian yang menarik. Salah satu teks filsafat yang paling menarik tentang demokrasi di masa Yunani Kuno adalah karya Aristoteles yang disebut sebagai Politeia atau Politics.
Aristoteles memulai dengan pengandaian dasar mengenai negara dan manusia. Aristoteles menulis bahwa negara adalah ciptaan dari alam dan manusia secara alamiah adalah binatang yang politis. Dengan kata lain, karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara, sebagai komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah[9]. Aristoteles secara jelas membedakan antara orang-orang yang tidak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan orang-orang yang terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk tudak bernegara, bagi Aristoteles adalah orang-orang jahat, yang sekaligus tidak mengenal hukum, pecinta perang,  kekacauan serta kejam. Ini jelas merupakan pengandaian antropologis dari filsafat politik Aristoteles. Ini bukan hanya konsep teoritis, melainkan juga selalu berpijak pada pengalaman nyata manusia-manusia konkret di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang hidup tanpa komunitas. Identitasnya sebagai manusia, termasuk kediriannya, pun diberikan oleh komunitas tempat ia hidup dan berkembang. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan komunitasnya. Di satu sisi, manusia menciptakan komunitasnya. Di sisi lain, ia pun diciptakan oleh komunitasnya. Dalam arti ini, bahwa dorongan untuk menciptakan tata politik, yakni sebagai manusia politis adalah kodrat alamiah manusia. Dengan berpijak pada pengandaian, bahwa manusia adalah makhluk politis dan negara adalah sesuatu yang alamiah, Aristoteles menegaskan, bahwa di dalam negara selalu ada struktur kekuasaan, yakni antara yang memerintah dan yang diperintah.
Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah ini memiliki beberapa model. Model pertama adalah model yang primitif, di mana politik ditujukan untuk sepenuhnya kepentingan pemerintah atau penguasa. Model ini disebutnya sebagai model hubungan tuan dan budak. Aristoteles menulis kekuasaan dari seorang tuan, walaupun budak dan tuan secara alamiah memiliki kepentingan yang sama, bagaimanapun juga selalu memihak pada kepentingan tuan. Walaupun begitu, tuan tetap harus memikirkan dan mempertimbangkan kepentingan budaknya. Jika budak hancur, maka kepentingan tuan pun tidak akan terpenuhi. Tanpa budak, tidak ada tuan. Jika budak hancur, maka kekuasaan sang tuan pun ikut hancur bersamanya. Di satu sisi, publik membutuhkan penguasa, pemerintah, dan pemimpin untuk menjalankan rutinitas hidup sehari-hari, dan menjamin, bahwa semua kebutuhannya, sedapat mungkin, terpenuhi. Di sisi lain, penguasa, pemerintah, ataupun para pemimpin membutuhkan publik untuk melegitimasi kekuasaannya, atau, dalam bahasa filsafat, memberikan “alasan adanya” kekuasaan itu. Tidak ada kekuasaan yang bisa bertahan, tanpa publik yang mendukung kekuasaan itu.
Model kekuasaan kedua adalah model rumah tangga, yakni antara orang tua dan anaknya di dalam sebuah keluarga. Di dalam model ini, kekuasaan digunakan untuk memenuhi kepentingan semua pihak, terutama pihak yang dipimpin. Orang tua memimpin rumah tangga untuk kebaikan anak-anaknya bukan untuk kebaikan orang tuanya semata. Aristoteles menulis Pemerintahan yang terdiri dari istri dan anak dan rumah tangga, yang disebut juga manajemen rumah tangga ada pertama-tama untuk kebaikan dari pihak yang diperintah atau juga demi kebaikan kedua belah pihak, tetapi secara esensial untuk kebaikan yang diperintah. Jika model ini diterapkan di level politik, yakni lebih masyarakat luas, maka yang tercipta kemudian adalah tata politik demokratis. Di dalam politik demokratis, negara bergerak di dalam kerangka prinsip kesetaraan antara manusia. Penguasa pun tidak lagi digilir berdasarkan darah ataupun kekuatan militer, melainkan dipilih bergantian di antara orang-orang terbaik yang ada di dalam masyarakat tersebut. Para penguasa dipilih, karena mereka dianggap bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas. Dengan menjalankan peranannya, sang penguasa yang dipilih secara bergantian  pun mendapatkan keuntungan berlimpah. Aristoteles menambahkan bahwa hal ini seperti situasi alamiahnya, orang akan bergantian melayani sebagai penguasa dan sekali lagi, orang lain akan memperhatikan kepentingannya, sama seperti dia, ketika ia memimpin, memperhatikan kepentingan mereka. Inilah politik yang ideal menurut Aristoteles.
Aristoteles menulis bahwa pemerintah yang berpihak pada kepentingan bersama dibentuk sesuai dengan prinsip keadilan yang ketat yakni negara yang merupakan komunitas orang-orang bebas. Negara yang cacat adalah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politis. Bentuknya bisa beragam, mulai dari monarki sampai dengan totalitarisme militer. Sedangkan, negara demokratis merupakan kebalikan dari model semacam itu. Negara demokratis adalah komunitas orang-orang bebas. Penguasanya mengabdi pada kepentingan rakyat, bukan karena Tuhan memerintahkannya melainkan karena ia tahu, pola semacam itu juga baik untuk dirinya. Di Indonesia, demokrasi adalah sistem politik yang digunakan. Namun, argumen sentral Aristoteles, yakni demokrasi sebagai komunitas orang-orang bebas, belumlah menjadi budaya demokrasi di Indonesia. Warga negaranya masih hidup dalam kungkungan dua hal, yakni kungkungan agama yang penuh dengan perintah dan larangan serta kungkungan hasrat untuk mengumpulkan harta benda dan uang. Dengan kata lain, kebebasan adalah prasyarat demokrasi. Selama orang masih mengikat dirinya sendiri dengan kebodohan-kebodohan mitologis, maka selama itu pula, mentalitas demokratis tidak akan tercipta, walaupun sistemnya sudah di bangun.
Aristoteles menjelaskan ada berbagai bentuk demokrasi. Bentuk yang pertama menegaskan bahwa sudah menjadi sesuatu yang lumrah jika orang yang miskin tidak mendapatkan keuntungan yang lebih baik dari orang yang lebih kaya, namun tetap saja di antara dua pihak ini tidak ada yang boleh menjadi tuan atau budak, melainkan keduanya sama. Prinsip yang digunkaan untuk mewujudkan asas persamaan yang ada dalam demokrasi adalah dengan cara saling berbagi. Bentuk kedua menjelaskan bahwa pemerintah dipilih berdasarkan kualifikasi kepemilikan tertentu (kepemilikan yang sedikit) artinya, kepemilikan yang di maksud merupakan sesuatu yang dimiliki oleh sedikit orang, sehingga menjadi lebih gampang dalam menentukan siapa yang memerintah. Sebagai contoh misalnya kepemilikan akan harta atau uang. Individu-individu yang memiliki harta yang telah dipersyaratkan akan diberikan kesempatan dalam mengambil alih dalam pemerintahan, sedangkan mereka yang tidak memiliknya akan kehilangan haknya. Bentuk ketiga dari demokrasi tersebut menjelaskan bahwa setiap individu yang tidak terkena diskualifikasi tersebut (telah memenuhi syarat atas kualifikasi yang diberikan) memperoleh kesempatan ikut ambil dalam pemerintahan, namun statusnya masih dibawahi oleh hukum yang menjadi kedaulatan tertinggi artinya, setiap individu atau golongan termasuk pemerintah, statusnya tetap terikat oleh hukum yang berlaku. Bentuk keempat dari demokrasi tersebut menjelaskan bahwa setiap individu asal dia termasuk warga negara (tidak memakai kualifikasi apapun kecuali status warga negara) mempunyai kesempatan yang sama untuk andil diri dalam pemerintahan, namun konstitusi atau hukum tetap menjadi starata yang paling tinggi. Bentuk kelima dari demokrasi menegaskan bahwa semua aspek dari demokrasi yang sebelumnya tetap sama keadaannya, namun yang menjadi strata tertinggi bukanlah hukum melainkan rakyat sendiri. Kedudukan rakyat berada diatas hukum.



3.      Pemimpin yang Demokratis
Sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak dapat bertindak secepat pemerintahan diktator, tetapi sekali mengambil tindakan,  dapat dipastikan adanya dukungan publik atas keputusan tersebut[10]. Berdasarkan uraian di atas, filosofi dari Aristoteles ini seharusnya dapat dijadikan solusi untuk menciptakan pemimpin yang demokratis. Dengan kata lain, pemimpin yang demokratis merupakan pemimpin yang mau saling berbagi dengan rakyatnya, saling mengisi dan saling menutupi kekurangan masing-masing; pemimpin yang baik juga harus memiliki harta bukan berarti orang miskin tidak bisa menjadi pemimpin melainkan dengan logika seperti ini bila pemimpin tersebut tidak memiliki harta bagaimana ia dapat menjalankan segala visi misinya dalam pemerintahan; pemimpin tersebut harus terikat dan patuh kepada hukum yang berlaku; pemimpin yang demokratis merupakan warga negara dari negara tersebut dengan tetap menjadikan hukum sebagai strata tertinggi dan yang terakhir adalah kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

C.    KESIMPULAN
Sudah kita ketahui bahwa pelaksanaan demokrasi dimulai dari masa Orde Lama sampai masa reformasi. Sistem pemerintahan yang semula sistem demokrasi parlementer kin berubah menjadi sistem demokrasi Pancasila. Sehingga diperlukan pemimpin yang demokratis untuk menjalan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila.
Filosofi dari Aristoteles ini seharusnya dapat dijadikan solusi untuk menemukan pemimpin yang demokratis. Dengan kata lain, pemimpin yang demokratis merupakan pemimpin yang mau saling berbagi dengan rakyatnya, saling mengisi dan saling menutupi kekurangan masing-masing; pemimpin yang baik juga harus memiliki harta bukan berarti orang miskin tidak bisa menjadi pemimpin melainkan dengan logika seperti ini bila pemimpin tersebut tidak memiliki harta bagaimana ia dapat menjalankan segala visi misinya dalam pemerintahan; pemimpin tersebut harus terikat dan patuh kepada hukum yang berlaku; pemimpin yang demokratis merupakan warga negara dari negara tersebut dengan tetap menjadikan hukum sebagai strata tertinggi dan yang terakhir adalah kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.




[1] http://nasional.kompas.com/read/2014/02/04/0818081/Siaga.Satu.Banjir.Janji.Politik.
[2] http://sweeperjamnas.wordpress.com/2012/12/28/pelaksanaan-demokrasi-di-indonesia/
[3] Bambang Tri Purwanto, Sunardi, Kewarganegaraan 2, (Solo, Platinum, 2010). hal. 29.
[4] RAPBN: Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
[5] DPR-GR: Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong
[6] Bambang Tri Purwanto, Sunardi, op.cit., hal. 40
[7] KAPPI: Kesatuan Alesi Pemuda dan Pelajar Indonesia
[8] KAMI: Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
[9] http://rumahfilsafat.com/2012/08/24/demokrasi-negara-dan-good-life/
[10] http://smart-colleger.blogspot.com/2011/12/makalah-demokrasi-menurut-aristoteles.html

Yang mau download bisa di sini yaa :)